Padang Koreksipost.com.Jamak diketahui bahwa dalam setiap pemilihan umum (pemilu) sangat rawan akan terjadinya berbagai pelanggaran bahkan kecurangan. Indikator penyebab terjadinya hal tersebut tidak hanya berfokus dari penyelenggara, melainkan juga perilaku dari kompetitor. Salah satu pelanggaran yang sering ditemui adalah penyalahgunaan hak pilih. Mulai dari adanya money politic hingga kehilangan hak pilih yang semakin hari semakin menjadi.
Guna mengulik persoalan ini Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) perkumpulan perusahaan Media Online Indonesia (MOI) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) di bawah kepemimpinan Anul Zufri S.H, M.H mengundang Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumbar berdiskusi dengan para jurnalis media online dengan menghadirkan salah seorang tokoh politik sekaligus mantan Bupati Tanah Datar, Ir. M. Shadiq Pasadigoe, S.H, M.M, bertempat di kantor Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar, di Alai Parak Kopi, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang, Selasa 2 Agustus 2022.
Diskusi ini juga dihadiri oleh Ketua LKAAM Sumbar sekaligus pembina DPW MOI Sumbar DR. Fauzi Bahar, M.Si, Datuak Nan Sati. Sementara KPU Sumbar diwakili oleh Izwaryani, S.Ag, Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM.
Dalam diskusi itu topik yang mengemuka adalah politik uang masih tetap menjadi ancaman dalam penyelenggaraan pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah serentak. Dimana biasanya jumlahnya makin banyak menjelang hari pemungutan suara.
Kata Shadiq Pasadique, politik uang dimaksud adalah sebagai gambaran untuk menerangkan semua jenis perilaku korupsi dalam pemilu, mulai dari korupsi politik hingga klientelisme yang menjadi pemicu tumbuh-berkembang politik uang (money politic) dan premanisme politik. Belum lagi persoalan vote buying (pembelian suara) hingga kecurangan.
Sadiq yang memiliki pengalaman menjadi Bupati Tanah Datar dua periode (tahun 2005 hingga 2015) dan calon anggota DPR RI dari Partai Amanat Nasional (PAN) tahun 2019 lalu ini pun mengakui bahwa pihak penyelenggara dan organisasi masyarakat sipil pun bukan tanpa upaya untuk memerangi politik uang tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari memperkuat aturan, menggencarkan sosialisasi mengenai bahaya dan sanksi bagi pemberi maupun penerima, hingga mengajak calon kepala daerah membuat komitmen bersama atau fakta integritas agar berkompetisi secara adil dan jujur.
Namun nyatanya, kata Shadiq yang pernah menjadi Staf Ahli Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Bidang Pemerintahan dan Otonomi Daerah periode 2017-2018 ini, politik uang tetap mewarnai penyelenggaraan pemilu maupun pilkada.
Kata pria kelahiran 8 Januari 1960 ini, dari beberapa hasil survei menunjukkan bahwa uang masih berpengaruh bagi pemilih dalam menentukan pilihan.
Di sisi lain kata suami dari seorang politisi Sumbar, Betti Shadiq Pasadigoe, S.E, Ak, M.M ini juga mengatakan bahwa fenomena “makelar suara” juga kerap disua dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
Dikatakannya, pada dasarnya “makelar suara” ini merupakan tim sukses bayangan. Tugas utama mereka memengaruhi pemilih umumnya dengan cara-cara tidak halal, seperti politik uang atau intimidasi. Karena itu, nama mereka tidak didaftarkan secara resmi di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dari data yang dikumpulkan wartawan media ini, “makelar suara” ini bisa individu atau kelompok yang berasal dari berbagai kalangan. Umumnya mereka memiliki jaringan dan pengaruh luas di masyarakat, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, pengusaha lokal, aktivis, hingga organisasi perangkat daerah dan perangkat desa, seperti kepala desa hingga pengurus rukun tetangga/rukun warga (RT/RW).
Pada kesempatan itu Shadiq Pasadique meminta kepada KPU Sumbar, agar bisa memberikan jaminan atau kepastian bahwa proses penyelenggaraan pemilu maupun pilkada berjalan sesuai aturan yang berlaku.
Sementara itu Zul Hendri, wartawan Metro Padang yang juga mantan Ketua PPS Kelurahan Kampung Baru, Pitameh Lubuk Begalung mengatakan, untuk menghidari pelanggaran bahkan kecurangan dalam pemilu maupun pilkada, harusnya proses rekapitulasi suara harus diawasi secara ketat, mulai dari tingkat TPS ke tingkat kecamatan, lalu kabupaten/kota, tingkat provinsi hingga tingkat pusat.
Menurut Zul Hendri, pengawasan harus benar-benar dilakukan agar jumlah suara sama di setiap jenjangnya.
Sementara Izwaryani, S.Ag, Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM mengatakan, dalam mengatasi berbagai pelanggaran bahkan kecurangan dalam pemilu maupun pilkada, selain memaksimalkan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk menjalin kerja sama dengan aparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi, peran serta masyarakat juga harus didorong agar menjadi ”agen” pengawasan.
Dikatakannya, semakin banyak yang turut mengawasi pelaksanaan pemilu dan pilkada, akan semakin sulit pula bagi pihak-pihak tertentu menjalankan aksinya.
Sementara kata pria yang akrab disapa Adek ini, bagi KPU Sumbar sendiri, sudah merupakan tugas dan tanggung jawabnya untuk melayani pemilih.
“Jika bagi penjual pembeli adalah raja, maka bagi kita pemilih adalah raja," ujar Adek dalam diskusi yang dimulai jam 13.15 WIB itu.
Adek memastikan bahwa spirit pelayanan ini yang selalu dipegang teguh KPU Sumbar. Dikatakannya, meski kesibukan tahapan Pemilu 2024 sudah mulai padat, KPU Sumbar tetap mengedepankan pelayanan prima.
Ia pun mengaku saat ini KPU Sumbar sedang mengupayakan peningkatan pengetahuan dan pendidikan pemilih yang akan bermuara pada hasil pemilu yang berkualitas. (Osama)