Kami tujuh bersaudara memanggil ayah kami dengan sebutan “Apak”. Kami tidak membunyikan huruf “k” di kata “Apak”, jadi terdengar “Apa” saja. Namun demikian, bunyi “Apa” yang saya ucapkan untuk memanggil ayah saya tetap berbeda dengan “apa” sebagai kata tanya dalam bahasa Indonesia.


Namun, seperti juga bagi anak pada umumnya, bagaimana pun cara seorang anak memanggil kepada orangtuanya, ayah adalah sosok pahlawan anak-anaknya. Sosok ayah yang melindungi anaknya sejak kecil.


Beliau panutan saya. Saya belajar dari Apak bagaimana cara menjadi orang yang berguna bagi lingkungan. Dari Apak saya belajar bagaimana menjadi anak laki-laki dan bergaul dengan banyak orang. 


Singkatnya, bagi saya, Apak adalah guru pertama saya untuk hidup benar dan bermakna. Apak tidak banyak mengajarkan sesuatu dengan lisannya, beliau lebih banyak memberikan contoh dengan perbuatannya. Beliau mengajarkan saya dengan perilakunya yang terpuji dalam menghormati orang lain. Sambil mengemudi, Apak memperlihatkan bahwa hidup harus ditempuh dengan bekerja keras, bersikap jujur, dan mempunyai kesabaran yang tinggi.


Apak juga yang menanamkan nilai-nilai adat Minang, agama, dan kearifan lokal kepada saya. Singkat kata, bagi saya Apak adalah guru sekaligus pahlawan saya. Saya merasa sosok Apak tidak tergantikan oleh siapapun.


Nama lengkap Apak adalah Bahar Sutan Baheram. Tentu saja ini bukan nama yang diberikan orangtuanya ketika beliau lahir. Tetapi nama plus gala  yang diperoleh Apak setelah dia menikah. Seperti laki-laki Minang pada umumnya, setelah menikah, dia akan mendapatkan gala  (gelar), atau nama kehormatan dari keluarga istri. Kelak keluarga istri, terutama orang tua istri akan memanggil menantunya dengan nama gala  itu.


Tetapi, setelah pindah ke Jambi, teman-teman Apak memanggilnya dengan sebutan Pak Agam. Ini pasti karena Apak memiliki oplet yang diberi nama PO Agam. Ketika itu, semua kendaraan umum diberi nama dengan awalan PO. Sekarang tidak umum lagi oplet diberi nama seperti dulu. 


PO adalah kependekan dari Perusahaan Oto. Apak percaya diri juga menggunakan kata PO, padahal di masa itu yang menggunakan nama PO adalah perusahaan angkutan besar yang berbadan hukum. Agam adalah nama daerah asal Apak, atau nama kampungnya, lebih tepatnya nama kabupaten tempat Apak lahir.


Apak lahir di wilayah Bukittinggi. Tepatnya, di desa Sungai Buluah, Kabupaten Agam, Bukittinggi, Sumatera Barat. Daerah ini masuk Kawalian Nagari Cingkariang. Tahun lahir Apak adalah 1925. Seperti pada umumnya orang tua zaman itu, tanggal lahirnya tidak diingat, apalagi dicatat. Maklum, saat itu belum ada akte kelahiran atau surat kenal lahir. Dan orang tua jaman dulu tidak punya tradisi merayakan hari kelahiran.


Apak pernah bercerita bahwa beliau lahir “setahun sebelum gampo gadang”. Bagi orang-orang Minang jaman dulu, kejadian alam luar biasa lazim dipakai sebagai pengingat. Gampo Gadang, atau gempa besar di Sumatera Barat terjadi pada 28 Juni 1926. Gempa ini memang besar, dengan kekuatan 7.2 SR, berpusat di Padang Panjang. Karena disebut lahir setahun sebelum gempa besar, berarti Apak lahir pada tahun 1925.


Ibu saya jauh lebih muda dari Apak. Nama lahir beliau adalah Darnis binti Salam. Namun saya tidak mengetahui tanggal dan tahun kelahirannya, dan tidak ada catatannya. Mungkin tidak ada peristiwa besar yang terjadi berdekatan dengan tahun kelahiran ibu saya. Jadi tidak mudah mengingat tahun kelahiran beliau.

Ibu saya berasal dari desa tetangga dari desa Apak. Desa mereka dipisahkan oleh jalan raya. Tidak berjauhan. Kedua desa itu masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Bisa jadi warga di kedua desa itu masih berkerabat jauh. Kedua desa itu masih masuk Kawalian Cingkariang, Kabupaten Agam, Bukittinggi. Dari kota Bukittinggi, lokasi kedua desa ini sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya berjarak sekitar 6 km. Mereka umumnya menyebut wilayah kota Bukittinggi sebagai “pasa” (pasar), karena memang mereka pergi ke kota itu untuk berbelanja atau berdagang.


Kami bertujuh memanggil ibu dengan sebutkan “Mama”. Biasanya orang Minang menyebut ibunya dengan panggilan “amak”. Saya juga tidak tahu mengapa kami memanggil “Mama” pada ibu. Empat orang kakak perempuan atau uni saya memanggil “Mama” pada orang yang melahirkan mereka, saya juga ikut memanggil Mama. Selanjutnya saya menggunakan kata “Mama” untuk menyebut ibu saya.


Apak dalam ingatan saya adalah seorang pekerja keras. Dia bekerja sepanjang hari. Sejak saya bisa mengingatnya, Apak selalu bekerja di atas opletnya yang dikenal dengan nama PO Agam tadi. Pagi sekali, kadang-kadang sebelum subuh, Apak sudah berada di jalan dengan opletnya. Kadang-kadang tengah malam juga masih bekerja. Sepanjang hari Apak 52  | Stokar Oplet Jadi Komandan Kapal PerangBUKU-STOKAR-1.indd 52 9/29/21 8:57 AMbekerja. Sarapan dan makan siang, lebih sering dilakukan Apak di warung atau rumah makan. Tapi pas waktu magrib, Apak pasti ada di rumah.Apak bukan tipe pria yang suka bercerita seperti Mama. Dia jarang sekali bercerita panjang lebar tentang masa lalunya. Sehingga saya tidak mengetahui banyak tentang masa lalu Apak, siapa saja teman-teman bermainnya masa kecil, dan lainnya. Satu yang saya ingat tentang masa muda Apak adalah beliau pernah bercerita bahwa sempat menjalani pekerjaan sebagai anggota TNI di masa mudanya, pangkat terakhir Apak adalah kopral angkatan darat. Justru informasi tentang Apak lebih banyak saya dapatkan dari Mama.Nah, Mama sangat berbeda dengan Apak. Lebih tepat bertolak belakang. Mama gemar sekali menceritakan masa lalunya. Bahkan dalam omelan Mama kepada kami anakanaknya yang keluar adalah cerita mama masa kecil. Kami sering sekali mendengar cerita yang sama diulang-ulang oleh Mama, betapa dulu hidupnya penuh perjuangan. Sehingga anak-anak hafal betul riwayat Mama di masa kecilnya.

 
Top